Mengintip Krisis Air Chile dan Mengapa Kita Perlu Belajar dari Sana
Di sebuah negara di ujung selatan dunia, air bersih kini menjadi barang mewah. Selama lebih dari 13 tahun, Chile hidup dalam megadrought atau kekeringan besar yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah modern mereka. Hujan tak lagi rutin, sungai-sungai kehilangan arusnya, dan di beberapa kota besar, pemerintah bahkan mulai membahas sistem jatah air untuk warganya.
Menurut laporan Mistar.id, pemerintah Santiago, ibukota Chile, telah menyiapkan skema penjatahan air empat tingkat, dari “hijau” (aman) hingga “merah” (krisis penuh). Langkah itu bukan sekadar ancaman, melainkan tanda bahwa sumber air utama, seperti Sungai Maipo dan Mapocho, benar-benar berada di ambang kering. Kapasitas air nasional Chile telah menurun sekitar 10 % dalam tiga dekade terakhir, dan bisa berkurang hingga 50 % di wilayah utara dan tengah pada 2060 jika tren iklim saat ini berlanjut.
Bayangkan, sebuah negara dengan pegunungan es, lembah subur, dan garis pantai panjang, kini harus menghitung setiap tetes air.
Baca artikel lainnya: Pencemaran Lingkungan Akibat Tambang
Ketika Air Menjadi Barang Langka

Kekeringan panjang ini mengubah banyak hal yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat disana, dari pertanian yang tak lagi produktif, hingga gaya hidup masyarakat yang harus beradaptasi dengan pasokan terbatas. Di beberapa wilayah, warga bergantung pada truk tangki yang datang seminggu sekali. Di kawasan lain, sumur-sumur mengering, memaksa komunitas berpindah tempat.
Krisis ini tidak hanya disebabkan oleh perubahan iklim global, tapi juga oleh tata kelola air yang sudah lama tidak diperbarui. Chile, selama puluhan tahun, membiarkan sistem air dikelola secara privat, membuat akses air menjadi komoditas, bukan hak dasar. Ketika cuaca ekstrem datang, banyak warga tidak punya cadangan atau sarana penyimpanan air yang memadai.
Namun di tengah krisis, muncul inovasi lokal. Salah satu solusi yang menonjol datang dari produsen tangki seperti BIOPLASTIC Chile, yang memproduksi estanques de acumulación, tangki akumulasi air dari bahan polietilena berkualitas tinggi. Tangki-tangki ini mampu menampung hingga puluhan ribu liter air dan dirancang untuk tahan terhadap panas ekstrem serta paparan UV yang intens di iklim kering.
Bentuknya vertikal dengan dinding bergelombang, memperkuat struktur agar tidak mudah retak meskipun terkena suhu tinggi. Teknologi sederhana, namun efektif karena dengan solusi yang dihadirkan, masyarakat bisa menampung air hujan, air kiriman, atau cadangan dari sumber musiman. Di banyak wilayah pedesaan, tangki seperti ini menjadi penyelamat, yang memastikan keluarga tetap memiliki air untuk minum, mandi, dan bertani meskipun curah hujan hanya datang sekali dalam beberapa bulan.
Kisah ini menjadi contoh nyata bahwa ketika alam berubah, teknologi dan kesadaran masyarakat juga harus ikut beradaptasi.
Baca artikel lainnya: Kenalan Yuk dengan 5 Komunitas Peduli Lingkungan di Indonesia
Pelajaran untuk Indonesia
Indonesia tentu memiliki konteks berbeda, karena kita dikelilingi laut dan memiliki curah hujan tinggi. Tapi kenyataannya, kekeringan lokal dan krisis air bersih sudah sering terjadi di beberapa wilayah. Di musim kemarau panjang, pasokan air di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Kupang menurun drastis. Sementara itu, di banyak daerah pedesaan, sumber air tanah mulai menipis karena eksploitasi berlebihan.
Bedanya dengan Chile, kita justru memiliki kelembapan tinggi. Masalah utamanya bukan sekadar “tidak punya air”, tapi bagaimana menjaga air tetap bersih dan layak digunakan. Di iklim tropis, air yang disimpan sembarangan mudah ditumbuhi lumut dan bakteri. Di sinilah konsep tangki air modern menjadi penting, bukan hanya soal menampung, tapi juga melindungi kualitas air dari panas, sinar UV, dan pertumbuhan mikroorganisme.
Pelajaran dari Chile untuk Menjaga Rumah Kita

Pelajaran paling jelas dari Chile adalah kesadaran bahwa air tidak bisa diandalkan selamanya datang dari keran. Dunia berubah karena iklim semakin tidak menentu. Saat curah hujan menurun, siapa yang punya sistem penyimpanan air akan lebih siap menghadapi ketidakpastian.
Di Indonesia, solusi seperti tangki air MPOIN menawarkan langkah nyata untuk mempersiapkan diri. Produk ini bukan sekadar wadah besar, tapi hasil dari riset panjang tentang cara menjaga air agar tetap bersih di kondisi tropis. MPOIN menggunakan bahan HDPE food-grade yang aman untuk konsumsi, serta dilengkapi teknologi Light Block untuk mencegah pertumbuhan lumut dan Thermal Stabilizer agar suhu air tetap sejuk meski cuaca panas ekstrem.
Satu hal yang menarik, desain tangki MPOIN juga memperhitungkan kebutuhan praktis masyarakat Indonesia: mudah dipasang di atap rumah, tahan benturan, dan memiliki garansi panjang hingga 50 tahun. Jika di Chile tangki menjadi simbol ketahanan menghadapi kemarau, di Indonesia produk seperti MPOIN bisa menjadi bentuk kesiapan terhadap perubahan iklim dan ketidakpastian pasokan air.
Baca artikel lainnya: Kenapa Wadah Air di Rumah Bisa Memicu Demam Berdarah
Air Adalah Masa Depan
Kekeringan di Chile bukan hanya berita internasional, ia adalah cermin masa depan dunia. Negara yang dulunya subur kini belajar hidup dengan hemat air, sementara kita di Indonesia masih diberi anugerah hujan yang berlimpah. Tapi pertanyaannya: sampai kapan kita bisa mengandalkannya?
Ketika perubahan iklim memperpanjang musim kemarau, menurunkan debit sungai, dan mengganggu siklus hujan, maka setiap rumah perlu punya “cadangan kehidupan” sendiri. Bukan hanya demi kenyamanan, tapi demi keberlanjutan.
Dan di titik itu, tangki air bukan lagi sekadar perlengkapan rumah, melainkan investasi jangka panjang, seperti yang telah dibuktikan oleh masyarakat Chile dengan tangki-tangki Bioplastic mereka, dan kini dapat diwujudkan di Indonesia melalui inovasi seperti MPOIN.
Air mungkin tampak sepele hari ini, tetapi seperti kata pepatah lama:
“Kita baru menyadari nilainya ketika ia tak lagi mengalir.”